1. Peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam
Syaikh
Shalih al Fauzan –hafizhahullah- menyatakan:
“Di
antara bid’ah yang mungkar yang diada-adakan oleh sebagian orang adalah
perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Rabi’ul Awal. Di
antara mereka ada yang sekedar berkumpul, mendengarkan bacaan kisah maulid,
atau ceramah, atau qasidah. Di antara mereka ada yang membuat makanan tertentu
dan manisan, lalu membagikannya kepada orang-orang yang hadir. Di antara mereka
ada yang mengadakan di masjid-masjid. Di antara mereka ada yang mengadakan di
rumah-rumah.
Di
antara mereka ada yang tidak mencukupkan dengan apa yang telah disebutkan, lalu
pertemuan itu dibuat mencakup hal-hal yang diharamkan dan
kemungkaran-kemungkaran, berupa campur-aduk antara laki-laki dengan perempaun,
tarian, nyanyian, atau perbuatan-perbuatan syirik, seperti minta dihilangkan
kesusahan kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, memanggil beliau, meminta
pertolongan kepada beliau terhadap musuh, dan lainnya.
Dan
(peringatan maulid) itu, dengan berbagai ragamnya dan perbedaan
bentuk-bentuknya, serta perbedaan niat orang-orang yang mengadakannya, tidak
ada keraguan dan kebimbangan, bahwa itu merupakan perbuatan bid’ah yang
diharamkan, perkara baru yang diada-adakan oleh (kelompok) Syi’ah (yang mengaku
keturunan Fatimah Radhiyallahu ‘anhuma, (diada-adakan) setelah tiga generasi
yang utama untuk merusak agama umat Islam.”
[Hukmul
Ih-tifal bi Dzikril Maulid Nabawi, karya Syaikh Shalih al Fauzan, termuat di
dalam kumpulan risalah Huququn Nabi Bainal Ijlal wal Ikh-lal, hlm. 151-152]
Kemudian
Syaikh Shalih al Fauzan menyebutkan berbagai syubhat orang-orang yang
mengadakan perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara
syubhat-syubhat itu adalah, bahwa perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menunjukkan kecintaan terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sedangkan menampakkan kecintaan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi was allam
disyari’atkan.
Maka
Syaikh Shalih al Fauzan membantah syubhat itu dengan mengatakan:
“Tidak
ada keraguan bahwa mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan
kewajiban atas setiap muslim, lebih besar daripada mencintai dirinya sendiri,
anak, bapak, dan manusia seluruhnya. Semoga shalawat-shalawat dan salam
diberikan kepada beliau.
Tetapi
bukan berarti kita (kemudian) mengadakan sesuatu perkara baru (bid’ah) yang
tidak disyari’atkan untuk kita. Bahkan mencintai beliau mengharuskan mentaati
dan mengikuti beliau. Karena hal itu merupakan perwujudan kecintaan yang paling
besar. Sebagaimana dikatakan di dalam sya’ir:
لَوْ
كَانَ حُبُّكَ صَادِقًا لَأَطَعْتَهُ إِنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْع
Seandainya
kecintaanmu itu benar, pastilah engkau akan mentaatinya,Sesungguhnya
orang yang mencintai itu mentaati orang yang dia cintai.Mencintai
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharuskan menghidupkan sunnah (jalan,
ajaran) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, memegangnya kuat-kuat, dan
menjauhi apa-apa yang menyelisihinya yang berupa perkataan dan perbuatan. Dan
tidak ada keraguan, apa yang menyelisihi sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam merupakan bid’ah yang tercela dan kemaksiatan yang nyata, di antaranya
adalah perayaan peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
bid’ah-bid’ah lainnya. Kebaikan
niat tidak menjadikan bolehnya berbuat bid’ah di dalam agama. Karena
sesungguhnya, agama itu dibangun di atas dua landasan, yaitu ikhlas (murni
mencari ridha Allah) dan mutaba’ah (mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam ).
Allah
Ta’ala berfirman:
بَلَىٰ
مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ
وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“(Tidak
demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan wajahnya kepada Allah (yaitu
ikhlas, Pen), sedang ia berbuat kebajikan (yakni mutaba’ah. Pen), maka baginya
pahala pada sisi Rabb-nya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati”
[al
Baqarah : 112].
Menyerahkan
wajah kepada Allah adalah ikhlas kepada Allah, sedangkan ihsan (berbuat
kebajikan) yakni mengikuti Rasul dan mencocoki sunnah.
[Ibid,
hlm. 159-160]
2. Memuji Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Secara Berlebihan
Salah
satu bentuk kecintaan adalah memuji kepada orang yang dicintai. Oleh karena
itulah banyak sya’ir-sya’ir yang memuji Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
memuji sifat-sifat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila pujian itu
sesuai dengan hakikatnya, tidak berlebihan, maka tidak mengapa. Sebagaimana
sebagian para penyair di kalangan sahabat memuji Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, seperti Hassaan bin Tsabit, Abdullah bin Rawahah, Ka’b bin Malik, dan
lainnya Radhiyallahu ‘anhum.
Namun
sebagian orang memuji Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berlebihan,
bahkan ada yang sampai derajat kemusyrikan. Maka, hal ini termasuk sikap ghuluw
(melewati batas) yang dilarang keras oleh agama, walaupun dengan alasan cinta
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mengingatkan umatnya tentang hal ini dengan sabdanya:
لَا
تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ
فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah
engkau memujiku secara berlebihan sebagaimana Nashara telah memujiku secara
berlebihan terhadap (Isa) Ibnu Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba
Allah, maka katakanlah “hamba Allah dan RasulNya”.
[HR
Bukhari, no. 3445, dari sahabat Umar bin al Khaththab].
Di
antara contoh pujian yang berlebihan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah, qasidah (kumpulan sya’ir) mimiyah (yang diakhiri dengan huruf
mim) karya Ibnu Sa’id al Bushiri (meninggal tahun 695H) di kota Iskandariyah,
Mesir.
Qasidah
ini sangat terkenal pada sebagian umat Islam. Qasidah ini berisi kisah maulid
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga banyak dibaca sebagian umat Islam
saat merayakan peringatan maulid Nabi. Qasidah ini dikenal dengan nama burdah
(selimut), karena konon, pembuat qasidah ini meminta kesembuhan dari penyakit
lumpuh separo yang dia derita, dengan perantaraan pembacaan qasidahnya, lalu
dia bermimpi didatangi oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusapnya sehingga penyakitnya sembuh. Kemudian
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan burdah kepadanya.
Perlu
kita ketahui, bahwa mimpi tidak dapat dijadikan pedoman keyakinan dan
hukum-hukum dalam masalah agama. Karena agama Islam telah sempurna, sehingga
tidak membutuhkan tambahan dari mimpi-mimpi.
Penyimpangan
nyata dari Qasidah Burdah Bushiri tersebut, antara lain adalah ucapannya pada
bagian ke tiga dari qasidahnya:
يَا
أَكْرَمَ الرُّسُلِ مَالِي مَنْ أَلُوْذُ بِهِ سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ الْحَادِثِ
الْعَمِمِ
Wahai
Rasul yang paling mulia, tidak ada bagiku orang yang aku berlindung kepadanya
kecuali engkau, di saat terjadinya musibah yang merata
Perkataan
ini merupakan doa di saat kesusahan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, sedangkan doa kepada selain Allah adalah syirik akbar yang mengeluarkan
dari agama Islam!
3. Menciptakan Shalawat-Shalawat Bid’ah Dan
Mengamalkannya
Sesungguhnya
shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan salah satu bentuk
ibadah yang agung. Kita dianjurkan memperbanyak bacaan shalawat, sehingga
mengamalkannya merupakan sarana meraih kebaikan dan sekaligus menunjukkan
kecintaan kita kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا
“Barangsiapa
memohonkan shalawat atasku sekali, Allah bershalawat atasnya sepuluh kali”.
[HR
Muslim, no. 408, dari Abu Hurairah].
Tetapi
sayang, betapa banyak penyimpangan dan bid’ah yang dilakukan oleh banyak orang
seputar shalawat Nabi. Antara lain tersebarnya shalawat-shalawat yang tidak
disyari’atkan. Yaitu shalawat yang datang dari hadits-hadits dha’if (lemah),
sangat dha’if, maudhu’ (palsu), atau tidak ada asalnya. Demikian juga shalawat
yang dibuat-buat (umumnya oleh ahli bid’ah), kemudian mereka tetapkan dengan
nama shalawat ini atau itu.
Shalawat
seperti ini sangat banyak jumlahnya, bahkan sampai ratusan. Sebagai contoh,
berbagai shalawat yang ada di dalam kitab Dalailul Khairat wa Syawariqul Anwar
fii Dzikrish Shalah ‘ala Nabiyil Mukhtar, karya al Jazuli (meninggal th. 854H).
Di antara shalawat bid’ah ini adalah shalawat Basyisyiyah, shalawat Nariyah,
shalawat Fatih, dan lain-lain. Termasuk musibah, karena sebagian shalawat bid’ah
itu mengandung kesyirikan.
[Lihat
Mu’jamul Bida’, hlm. 345-346, karya Syaikh Raid bin Shabri bin Abi 'Ulfah;
Fadh-lush Shalah ‘alan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, hlm. 20-24, karya
Syaikh Abdul Muhshin bin Hamd al ‘Abbad; Minhaj al Firqah an Najiyah, hlm.
116-122, karya Syaikh Muhammad Jamil Zainu; dan Sifat Shalawat & Salam
Kepada Nabi, hlm. 72-73, karya Ustadz Abdul Hakim bin Amir bin Abdat. ]
Jika
demikian, maka mengamalkan shalawat-shalawat bid’ah itu merupakan kesesatan,
bukan wujud kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
0 komentar:
Posting Komentar